Cerpen: Ramalan Cinta (Bagian 2 - Tamat)




Namun tiba-tiba lampu berkedip menyeramkan. Di sudut mata ia melihat seorang gadis duduk dengan tertunduk lesu di ujung lain dari bangkunya.  Stephan menengok dengan takut-takut, dan gadis itu juga menengok tiba-tiba. “APA LIHAT-LIHAT!?” sentaknya, hingga jantung Stephan serasa hampir copot

“Ka-kamu manusia?”  tanya Stephan yang hampir bangkit dari bangkunya.

“Apa gue kelihatan kayak setan?” jawabnya galak, membuang muka.

“Oh, enggak sih, sorry.” Stephan hendak mengakhiri pembicaraan namun ia mulai memperhatikan bahwa gadis itu masih mengenakan pakaian olahraga khas sekolahnya, padahal jam eskul saja sudah selesai berjam-jam yang lalu. Rambutnya yang panjang menempel di wajah dan punggungnya karena basah. Terlebih lagi, yang mengejutkan ada bekas air mata di pipinya.  “Habis diputusin ya?”

“Kepo!” jawabnya kasar.

Ah, udahlah bukan urusan gue. Ngapain bingung? Stephan membuang muka, tapi pikiran tentang gadis misterius itu masih mengganggu, apalagi barusan ia melihatnya menggigil. Melihat waktu masih panjang, perut lapar akhirnya memaksanya pergi membeli bakpao hangat dan kopi. Setelah itu dia kembali duduk di sebelah sang gadis. “Nih, makan dulu.”

Gadis itu memandangnya dengan skeptis. “Gak ada racunnya kan?”

“Ada!” jawabnya kesal. “Tadi gue suruh abangnya naro upil didalemnya! Puas!”

 “Thanks.” Ia melunak, dan langsung melahap bakpaonya. Ia memang benar-benar kelaparan. Bahkan ketika Stephan mengambilkan segelas kopi dan belum mengatakan apa-apa. ia langsung meneguknya seakan sudah tidak panas lagi. Setelah itu ia kembali tertunduk murung. “Gue Tiara—so-sorry tadi udah galak.”

“Yeah, gue paham lo lagi banyak masalah—Gue Stephan,” jawabnya. “Lo gak pulang?”

“Gue belum siap pulang,” jawabnya lesu.

“Aish, patah hati bukan alasan buat gak pulang kan?”

“Gue harusnya pulang dengan bangga hari ini, dengan keringat jerih payah, atau bahkan medali. Tapi lo lihat sendiri..” Tiara menunjukkan kaki kanannya yang diperban. “Gue kecelakaan dan ah—sedih kalau ingat Ibu gue, yang mantan atlit, yang disaat sakit rela ngelatih gue teknik voli sampai  Bapak marah dan bahkan ancam gue kalau sampai gak menang—ah..” Tiara tertunduk menangis.

“Aduh, maaf gue gak tau masalah lo seberat itu. Gue turut sedih.”

“Begonya gue, terlalu semangat mau lomba sampai bikin celaka diri sendiri tadi pagi, tepat disaat mau berangkat ke GOR. Hancur mimpi gue. hancur!” tangan Tiara yang mulai memukul-mukul kepalanya sendiri, tapi Stephan mencegahnya dengan memegangnya erat.

“Gue ngerti banget perasaan lo. Gue yakin Tuhan punya rencana lain buat lo.” jawab Stephan, benaknya langsung melayang ke kejadian 2 yang tahun lalu dan bercerita. “Gue dulu pernah terpilih jadi wakil Indonesia di kompetisi DOTA se-ASEAN, kebayang gak gimana bangganya? Tapi gue dengan begonya gak ikut.”

“Kok bego—eh kok gak ikut? Itu kan keren banget!”

“Ya gue bangun kesiangan dan pastinya udah didiskualifikasi 7 jam sebelumnya.” jawab Stephan dengan pede.

“Hahaha. Kalau 7 jam itu kemalaman namanya,” ia tak bisa berhenti tertawa, sampai-sampai melupakan kesedihannya. “Ternyata masih ada yang lebih bego lagi dari gue.”

“Nah, makanya,”  Stephan ikut terbahak. “Sekarang udah berani pulang kan?”

“Masih takut.” jawabnya murung.

*GUBRAK!*

“Aish, terserah lo aja deh mau pulang kapan.” ujarnya sambil mengacak rambut. “Tapi lo nanti beneran harus pulang. Bahaya tau kalau cewek sendirian malem-malem begini.”

Tiara tak menjawab, dan mereka saling diam cukup lama. Musisi jalanan mulai beraksi memecah kesunyian. Tiara menikmati suara sang penyanyi ketika menyanyikan lagu Akad milik Payung Teduh. Namun sebaliknya, Stephan terlihat bosan dan berkali-kali melihat jam tangannya. “Lo nungguin orang?” tanya Tiara.

“Nungguin jodoh,” jawabnya tanpa rasa malu. “Kata ramalan gue bakal ketemu jodoh di taman ini,”

“Dan lo percaya?” Tiara setengah mati menahan tawa. “Kalau mau dapet jodoh, gabung sana ke kerumunan. Kalau disini, di tempat yang dihindari kayak begini, dapetnya penghuni yang di pohon belakang!”

“Aish, itu sih jodoh lo.” Stephan terbahak. “Justru gue disini karena yakin kalau memang jodoh pasti bakal dateng sendiri kesini. Entah dia barangnya ilang, dikejar penjahat, atau lewat dan jatoh kepeleset. Biasanya di game dating simulator kejadiannya selalu gitu!”

“Itu kan cewek 2D di game!” Tiara geleng kepala. “Buru gabung sana, banyak temen sekelas gue yang single tuh. Yah, biarpun ada bapaknya juga sih.”

“Gue gak suka gabung di keramaian.”

Tiara pun menyerah untuk membujuk.

Stephan pun pergi membeli batagor hangat dan membaginya dengan Tiara. Mereka mengobrol tentang banyak hal. Langit gerimis akhirnya perlahan tapi pasti memaksa orang-orang untuk mulai meninggalkan taman. Tanpa sadar sekarang sudah jam sebelas malam. Stephan mulai menguap kelelahan dan hendak pulang, “Lo gak pulang?”

Tiara menggeleng murung.

“Ah masa gue harus jagain lo disini sampai  pulang. Sebentar lagi hujan nih!” katanya sambil mengacak rambutnya sendiri. Tapi tiba-tiba ia menyadari kaki Tiara yang cedera telah membengkak. “Eh itu—kaki lo bisa jalan?”

Tiara menggeleng lagi.

Stephan melepas jaket dan memberikannya ke Tiara. “Cepet pakai ini,” perintahnya. “Habis ini biar lo gue gendong di punggung.”

Tiara berjengit. “HAH? Eh-eh..Ma-maksudnya?”

“Ya lo gue gendong sampai rumah.” jawabnya dengan malas. Tiara hendak menolak tapi Stephan berkata, “Kalau gak mau digendong, terus mau diseret? Atau mau numpang nginep di rumah penghuni pohon belakang? Gak kan?” Stephan langsung memposisikan punggungnya di hadapan Tiara. “Ayo naik, keburu deras ini!”

“I-iya.” Tiara pun dengan susah payah naik.

*JLUG!*

Buset! Ini cewek badannya kecil, tapi beratnya kayak genderuwo. Butuh beberapa saat sampai Stephan bisa terbiasa untuk berjalan dengan beban di punggungnya. “Nah, rumah lo dimana?”

“Di-di Jalan Gotong Royong, sebelah kiri warteg ijo.”

“Buset jauh juga, 700 meter-an lagi. Tapi enak juga ya deket sama sekolah. Gue di jalan Kancil, dan sering terlambat karena jauh. Kaki gue sampai udah berotot, tapi lo tau kan Pak Rahmat.…..”

Kata-kata Stephan sudah tidak terdengar, telinganya seakan berada didalam air. Tiara masih terkejut tapi ia menikmati angin dingin membelai wajahnya, dan wangi parfum Bellagio di jaket training yang masuk ke hidungnya dan hangatnya tubuh Stephan yang mau tak mau ia peluk. Stephan pun merasakan air hangat di pundak kanannya yang ternyata iler Tiara yang tengah tertidur.

“Aish jijay banget ini cewek!” gumamnya. Namun Stephan tidak mau membangunkannya karena kasihan. Dia terjebak di hari yang berat, kasihan banget. Baru ketika hampir sampai di dekat warteg ia membangunkannya. “Oy, enak banget tidur, kaki gue udah mau patah ini. Itu rumah lo kan?”

“Aduh maaf, gue ketiduran!”

“Lo bisa jalan sendiri kesana kan? Gue takut ortu lo salah paham nanti. Bisa kena double kill nanti.”

Tiara dengan susah payah turun, “Thanks Stephan!” ia hendak melepas jaket yang basah kuyup tapi Stephan melarangnya.

“Udah, buat lo aja. Gue punya banyak di rumah.”

Mata Tiara berbinar, “Serius ini? Ini kan Adidas ori!” serunya dalam bisikan. “Thanks so much Stephan!” setelah itu ia masuk dengan mengendap-endap ke gerbang, dan ternyata orang tuanya telah menunggu di teras.

Dari kejauhan Stephan mendengar teriakan histeris sang ayah. Bukan teriakan kemarahan biasa, tapi kemarahan penuh kasih sayang. “TIARA! Kamu kemana aja!?” sang ayah memeluk erat sambil menangis, disusul sang ibu. “Bapak gak marah sayang, kamu gak ikut lomba karena musibah, bapak ngerti!  Kamu gak perlu kayak begini!”

Stephan pulang dengan tersenyum lega karena bisa melihat momen bahagia itu, yah setidaknya untuk beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa ponsel kesayangannya ternyata ada di jaket training itu. Mampus gue njir! Mana ada turnamen PUBG pula! Anjir besok hari minggu juga!

***

Senin cerah menyambut, tapi Senin juga selalu menyeramkan bagi Stephan. Seharian bermain Heroes of Might and Magic V dan Age of Wonders III masih kurang panjang sebab ia belum sempat memainkan Sid Meier’s Civilization V. Tadi ia berangkat dengan bersin-bersin karena flu, tapi ajaibnya tidak terlambat seperti biasa. Pagi ini ia menemui Milona langsung ke kelas X-5, dan gadis itu menyambut.

“Pagi kakak Tepan! Aku dapet medali perak loh!”

“Selamat ya! Keren banget! Lo memang membanggakan sekolah!” puji Stephan. “Tapi gue kesini bukan buat lihat medali. Gue minta lo tanggung jawab. Ramalan lo gak tepat Mil, padahal gue udah ke taman dan menunggu sampai malem, tapi gak ada yang muncul.”

“Hah? Ramalan aku gak mungkin salah loh kakak. Pasti kakak Tepan keasikan main game tuh sampai gak perhatian sama sekitar! Ya kan? Ya kan? Ya kan?”

“Enak aja, gue justru gak main hp sama sekali waktu itu!”

“Oke deh kalo gitu aku tanggung jawab ramalin gratis.” Milona mengambil kartu remi diantara banyak kartu di tasnya. Bahkan saat Stephan mengintip ada kartu Werewolf dan Yu-Gi-Oh juga diantara koleksinya. “Baiklah, karena GE-RA-TIS kakak ambil satu kar—” Bruak! Kartu remi itu tiba-tiba terlepas dari tangan Milona dan jatuh berhamburan di lantai. Anehnya semua kartu tertutup dan hanya satu yang terbuka: As hati yang menunjuk ke arah pintu. “Kabar bagus kak!”

“Apa? Gue harus bersih-bersih lagi gitu?”

Mata Milona langsung berbintang-bintang. Ia sudah membayangkan ditraktir oleh Stephan si anak bos Santoso Corporation.  “AS HATI INI MENUNJUK KE ARAH JODOH KAKAK BERADA!” Milona bergembira sendiri sampai tak bisa mengontrol volume suaranya. Seisi kelas pun menahan tawa, dan jitakan Stephan pun mendarat di kepala Milona. Wadauw!  “Dia bakal dateng dalam hitungan… 5… 4… 3… 2…”

Tiba-tiba Tiara yang jalannya masih pincang muncul di pintu dan terkejut. “Stephan!?” Ia mempercepat langkah pincangnya. “Pasti lo nyari ini kan?” Tiara menyodorkan ponsel dari sakunya. “Malem itu gue mau tidur, tapi muncul notif turnamen dan WhatsApp  temen gamer lo rame, jadi ya gue mainin dan akhirnya—“

“Gue nyari lo, Tia.” kata Stephan dengan tatapan tajam. “Jodoh yang gue temuin di taman!”

Pipi Tiara langsung memerah.

Sekelas pun menyoraki mereka.  “Jadian… Jadian… Jadian!” Walaupun masih kalah keras dan kurang lebay kalau dibandingkan dengan teriakan Milona.

Stephan dan Tiara pun hanya bisa tertawa.

TAMAT

Bryan Suryanto Blogger

Bryan Suryanto lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada tanggal 27 Februari 1995 silam. Ia mengaku sebagai introvert berkepribadian INFP yang suka menggambar dan bercita-cita menjadi komikus tapi selalu gagal. Namun, dari naskah komik yang gagal itulah akhirnya ia menyadari bahwa menulis adalah passion terbesarnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo meninggalkan komentar..