Cerpen: Ramalan Cinta (Bagian 1)



Dengan yang rambut berantakan ia berlari menuju sekolah sambil terburu-buru mengancing baju seragam SMAnya dan mengenakan dasi. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai di sekolah, sebab ini sudah kesekian kalinya ia kesiangan. Mungkin hukumannya akan jauh lebih berat dari sekedar berdiri di koridor. Sialnya pak satpam sudah mulai menutup gerbang, dengan berlari sekuat tenaga ia nekat menerobos celah sempit yang hampir tertutup, dan langsung berlari ke kelas.

Namun di depan kelas, hal yang ia takutkan telah menanti. “Stephan Santoso! ” sentak Pak Rahmat. Dalam pandangan Stephan, guru botak bertubuh pendek itu seakan berubah menjadi tinggi besar, bermata merah, dan bertanduk. Stephan hanya bisa tertunduk pasrah. “Tunggu,” sang guru mengangkat wajah Stephan dengan tatapan curiga. “Apa-apaan kantong mata gelap ini. Kamu pasti begadang main game online lagi ya!”

“Ampun pak,” Stephan langsung berlutut dan memohon. Ia mungkin badung tapi juga sangat hormat kepada guru-gurunya. “Saya berjanji ini terakhir kalinya saya telat!”

Sikap Pak Rahmat melunak tiba-tiba. “Seperti janji minggu lalu itu eh?” ia merangkul pundak Stephan. “Bapak tahu kamu itu sebenarnya anak baik, dan lumayan cerdas juga. Hanya saja kegilaanmu terhadap game itu sudah kelewatan dan bisa menghancurkan nilai rapor dan masa depanmu. Kamu sadar itu kan? Prestasimu semakin anjlok nak!”

Stephan hanya mengangguk malu.

“Nah, sekarang sebaiknya kamu ke kantin saja. Sebab kamu terlalu lelah untuk ikut pelajaran bapak, dan itu tidak akan bagus hasilnya. Kembali nanti setelah jam istirahat pertama.” perintah sang guru dengan senyuman yang buat Stephan terharu.

“Sa.. saya benar boleh istirahat pak?  Gak ada hukuman gitu?”

“SIAPA BILANG ISTIRAHAT!!” sentak Pak Rahmat buat Stephan terlonjak. “Kamu harus membantu Bibi membersihkan kantin sampai lantai, meja, etalase, bersih sebersih-bersihnya! Kalau masih ada sedikit kotoran saja, bapak suruh kamu sekalian bersihkan seluruh koridor! Mengerti!?”

***

Stephan memeluk lesu gagang pel saat memandang sekelilingnya. Kantin yang kecil itu kini seakan berubah menjadi sangat luas dan lima kali lebih kotor. “Mati gue.” keluh Stephan. Namun ia tetap membersihkannya tanpa banyak bicara. Ia mengambil piring-piring kotor, mengelap meja, menyapu hingga bersih. Bahkan para penjaga kantin yang sibuk memasak makanan pun memuji betapa fokusnya Stephan. Walaupun sebenarnya Stephan sengaja bekerja sambil memikirkan strategi baru untuk game perang yang sedang ia gandrungi agar rasa lelah dan lamanya waktu dapat terlupakan. “Mungkin gue harus train 20 archer buat bikin kacau pertahanan selatan.” gumamnya.

Sementara Stephan mulai mengepel, seorang gadis berambut panjang duduk dengan santai memperhatikan kakak kelasnya yang begitu rajin. “Yang situ belum bersih tuh,” dengan pede ia menunjuk ke kanan. Namun Stephan tanpa sadar menurutinya, sebab pikirannya masih terfokus dengan strategi. “Itu juga harus digosok kuat-kuat,” perintahnya lagi seraya menunjuk ke kiri. Stepan lagi-lagi menurutinya tanpa protes. Menyadari itu, pikiran jahil sang gadis pun mulai keluar. Setelah Stephan selesai mengepel, ia meminta “Sekalian jusnya dua dong kak!” sambil menahan tawa.

Stephan datang membawa jus, dan meletakkannya di meja. Stephan lalu duduk malas di depan sang gadis dan tersadar. “Buset! Kualat lo nyuruh-nyuruh kakak kelas!” serunya. “Lagian kalo lo bisa disini diluar jam pelajaran, lo juga dihukum ya kan? Bantuin kek! Emangnya gue pembantu lo!”

“Hehe! Bercanda kakak Tepan! Tapi itu jusnya aku traktir loh, soalnya aku lagi senang sekarang!” sang gadis terbahak. “Tapi aku gak dihukum kak—soalnya aku murid teladan dan juga anggota OSIS paling menawan—aku disini cuma mau sarapan sambil nunggu dijemput buat ikutan Olimpiade Sains Nasional sehabis istirahat ini.”

“Aish, gue jadi berasa paling sial di sekolah ini,” Stephan menyesap jusnya dengan lesu, lalu menidurkan kepala di meja. “Good luck deh buat olimpiadenya.”

“Oke, aku bakal berjuang demi nama sekolah!” seru sang gadis. “Tapi jemputannya masih setengah jam lagi, gimana kalau kita main kartu Uno? Mau ya? Mau ya?”

“Ogah.” jawab Stephan pendek.

“Kartu remi? Mau plis, mau ya?”

“Males.” tolaknya lagi.

“Aah, aku bosan nih.” keluhnya. Namun Stephan tidak lagi menggubrisnya. Ia terdiam sejenak sambil menyesap jusnya, dan mendapatkan ide. “Kakak Tepan kan lagi dapat sial terus, gimana kalau misalnya aku ramal aja? Mau?”

“Buset!!” Stephan terkejut setengah mati. “Kenalan aja belum, lo udah mau lamar gue aja!”

“Ramal kak! RAMAL!” seru sang gadis dengan jengkel. “Baiklah, namaku Milona, dari kelas X-5. Aku sering meramal—tapi gak gratis—dan sudah puluhan murid kelas X yang aku ramal.”

“Tepat gak hasilnya?”

“Gak tau deh, tapi gak pernah ada yang protes kok!” jawab Milona dengan senyum mencurigakan. “Karena kakak Tepan orang baik, aku akan ramal secara gratis!” Ia langsung mengocok kartu remi dan melebarkannya di meja. “Silahkan ambil satu kak!”

Stephan mengambil satu kartu dengan malas dan menyerahkannya ke Milona. “Gawat kakak!” Gadis itu langsung terkejut seolah terjadi bencana besar. “4 sekop berarti kesialan bakal menimpa kakak hampir sepanjang hari!”

“Udah gitu aja?” tanya Stephan cuek. “Perasaan peramal di TV biasanya suruh bintang tamu ambil 3?”

“Hehe! Kalau mau nambah, harus bayar dua puluh ribu kakak!” ujar Milona tanpa rasa bersalah.

*GUBRAK!*

“Haduh—Nih,” Stephan memberikan selembar uang. “Jangan ramalan jelek lagi yang keluar. Bagusin dikit kek. Gue lagi badmood nih.”

“Oke, karena kakak terkenal jones, aku akan ramal soal jodoh!” ujar Milona. Sebuah pilihan tema yang membuat Stephan hilang minat. Milona mengocok kartu dengan semangat, bahkan sampai beratraksi. “Kali ini silahkan ambil tiga kak!”

Stephan mengambil kartu dengan asal, dan menyerahkannya pada sang peramal. Ia kehilangan minat karena merasa dirinya tak pernah bernasib baik soal jodoh dan cinta. Bahkan sampai sekarang belum ada satu gadis pun yang pernah pacaran dengannya. Mungkin itu juga karena dia lebih peduli soal game dan turnamen daripada pacaran.

“Wiih!” Milona tersenyum lebar seakan baru mendapatkan medali emas olimpiade. “As hati berarti bakal ketemu jodoh, delapan wajik berarti jam delapan, 10 keriting berarti di taman—Selamat kakak, akhirnya kesempatan itu tiba!”

“Gimana bisa itu 10 keriting berarti di taman?” Stephan terheran-heran.

“Kan pohonnya banyak kak! Hehe!”

*GUBRAK!*

“Ah, ternyata cuma begitu doang,” Stephan kembali lesu, ia sama sekali tidak yakin dengan ramalan itu. Ia mengambil ponsel gaming ROG dari sakunya dan mulai memainkan game balapan. “Thankyou Mil—ya gue gak pernah percaya ramalan sih—tapi ya lumayan ada teman ngobrol.”

“Stephan Santoso!!” suara Pak Rahmat terdengar menggelegar mengejutkan seisi kantin. Sang guru merebut ponsel Stephan. “Dasar kamu tidak punya malu. Sudah dihukum karena game, masih saja kamu berani menyentuh perusak otak itu! SEKARANG BERSIHKAN KORIDOR KELAS XI!!!”

“Ups,” Milona berbisik. “Empat sekopnya kejadian kak. Aku kabur yah. Bye!”

Mau tak mau ia segera pergi membersihkan koridor. Betapa malu perasaannya ketika harus mengepel koridor XI-1 sampai XI-3, sebab disitulah ruang kelas anak-anak keluarga tersohor. Maria Agatha, putri dari Chairman Agatha Grup—yang selama ini selalu jadi pesaing ketat Sansoso Corporation—terlihat tertawa dengan begitu puas. Sialan! jerit Stephan dalam hati. Cewek setan itu pasti bakal cerita macam-macam ke bokapnya. Gadis itu dan gengnya bahkan terus mengolok-oloknya. Ia sangat ingin membalasnya, tapi ia merasa bisa mati kalau hukumannya ditambah lagi. Namun untungnya Bu Rida yang lewat segera mengusir Maria dan gengnya.

Satu cobaan berlalu, cobaan lainnya ketika mengepel koridor XI-4 sampai XI-7 yang muridnya terkenal hobi pacaran. Melihat mereka yang bermesraan saja sudah terasa seperti dicabik-cabik, apalagi bila ditambah dengan ejekan jomblo ngenes di sepanjang koridor. Bajirut! maki Stephan. Ia langsung mengambil iPod dan memakai earphone sebelum menyalakan musiknya. Ah, enaknya musik kalem begini. Jadi bisa fokus kan.

Sudah terlalu lama sendiri
Sudah terlalu lama aku asik sendiri
Lama tiada yang menemani..

Buset ini iPod juga ngajak ribut! Sekarang Stephan sudah terlalu marah, ia sudah tidak peduli lagi. Tapi tetap saja yang paling berat adalah ketika melewati kelas sendiri, yaitu kelas XI-10. Sebab teman sekelasnya malah kompak membullynya, mereka menganggap Stephan itu hanya membuat malu karena terlalu sering kena hukuman. 

Stephan menyelesaikan hukumannya tepat sebelum jam istirahat kedua selesai. Namun tenaganya terlanjur habis, dan kepalanya sudah sangat pusing. Setelah mendapat izin, ia langsung tidur di ruang UKS. Meski tadinya sudah hampir tertidur, ketenangan ruangan itu seketika hilang ketika seorang siswa mengalami kecelakaan kecil yang membuatnya luka gores di lengan kanannya. Sang pacar terus menemaninya dan selalu menanyakan keadaannya dengan lebay.

“Kamu gak apa-apa sayang? Aku tadi khawatir banget kamu kenapa-napa soalnya kamu sampai pingsan!”

“Aku gak apa-apa. Kamu gak usah khawatir, walaupun jatuh hatiku gak pecah kok. Aku cinta kamu!” jawabnya dengan nada lesu yang dibuat-buat.

“Ah, kamu so sweet banget deh!”

Stephan duduk dengan kesal. Ia menjenggut rambut dan menahan rasa kesal hingga giginya bergemeretak. “Kalian berdua sampah! Kalau mau pacaran keluar sana! Sialan! Anj#@%!” dan pasangan itu pun kabur karena ketakutan. Stephan langsung tidur dengan menelan kejengkelannya.

Sampai akhirnya hari sudah sore ketika suara derap langkah kaki para murid yang pulang sekolah membangunkannya. Pusing di kepalanya sudah hilang. Ia segera mengenakan tas dan langsung pulang. Dalam perjalanan pulangnya, hujan tiba-tiba mengguyur dengan begitu deras. “Sialan lo 4 sekop!!” serunya memaki langit mendung. Orang-orang di sekitarnya menjauh dan memandang dengan tatapan yang seakan berkata ‘awas ada orang gila.’

***

Sampai di rumah, Stephan langsung berendam air panas di bathup. Awalnya ia ingin balas dendam dengan bermain game sepuasnya, dan mempraktikkan strategi barunya. Namun kartu 4 sekop masih mengganggu pikirannya. “Begonya gue, kenapa mesti percaya omong kosong kayak gitu.” ia tersenyum pahit. Namun ia kembali teringat pada ejekan jomblo ngenes yang selalu dilontarkan murid lain. “Mungkin gak ada salahnya gue datang ke taman, toh boring disini.” Stephan sudah jenuh berada di rumah yang sepi, sebab ia tak punya ibu. Ayahnya pun hampir tidak pernah pulang karena urusan bisnis.

Taman malam itu cukup ramai, mungkin karena memang sedang malam minggu. Orang-orang berjalan saling mendorong dan berdesak-desakan, ditambah lagi mereka yang mengantri membeli jajanan tradisional untuk makan malam. Ah sial, gue benci sepi tapi ini terlalu rame! batinnya.  Stephan kesulitan menemukan bangku, sampai akhirnya mau tak mau ia hanya bisa pasrah duduk di bangku di sudut taman yang paling dihindari. Sebab disekitar bangku itu terdapat pohon beringin tua nan besar, juga minim pencahayaan karena beberapa lampunya pun sudah lama mati. Masa bodo lah soal setan, gue terlalu capek buat takut! pikirnya ketika bulu kuduk mulai merinding. 

Namun tiba-tiba lampu berkedip menyeramkan!

Bryan Suryanto Blogger

Bryan Suryanto lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada tanggal 27 Februari 1995 silam. Ia mengaku sebagai introvert berkepribadian INFP yang suka menggambar dan bercita-cita menjadi komikus tapi selalu gagal. Namun, dari naskah komik yang gagal itulah akhirnya ia menyadari bahwa menulis adalah passion terbesarnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo meninggalkan komentar..