
Readers, 12 tahun yang lalu kakekku membacakan cerita ini untukku. Cerita ini adalah cerita terakhir yang beliau bacakan sebelum beliau berpulang ke sisi Allah. Karena kangen dengan cerita ini, aku postinglah cerita ini, monggo disimak..
Alkisah di pedalaman Kalimantan, tinggallah seorang pemuda dari Suku Dayak Benuaq bernama Kilip. Kilip hidup sebatang kara. Dia tidak mempunyai saudara, sementara kedua orang tuanya pun telah lama meninggal dunia. Untuk menyambung hidupnya, setiap hari Kilip mengolah ladang warisan orang tuanya. Sesekali Kilip juga berburu binatang hutan bersama teman-temannya..
Suatu hari, Kilip diajak berburu oleh teman-temannya. Dengan bersenjatakan sumpit dan mandau, mereka berangkat ke hutan. Suku Dayak memang biasanya menggunakan mandau dan sumpit bila berburu di hutan. Mandau adalah semacam pedang khas Suku Dayak yang dapat digunakan untuk memangkas ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan. Sementara sumpit digunakan untuk menyumpit hewan buruan baik berupa burung ataupun binatang lainnya. Menjelang siang, sampailah mereka di hutan..
"Hari ini kita berburu burung saja ya Kilip, sudah agak lama aku tidak makan daging burung", ujar temannya..
"Baiklah, tapi kalau tidak ada burung, rusapun jadilah!", sahut Kilip..
Setelah beberapa lama berburu mereka berdua pun pulang ke rumah. Hari itu mereka dapat 3 ekor burung dan itu sudah dirasakan cukup. Disepanjang perjalanan, teman Kilip tadi mengajak Kilip untuk pergi merantau suatu hari kelak..
"Di rantau kita bisa menjumpai banyak hal!", ujar temannya..
"Iya..tapi mana mungkin aku pergi? Siapa nanti yang akan mengurus ladangku?', tanya Kilip sedih..
Dulu Kilip memang pernah punya keinginan untuk pergi merantau. Tapi itu dulu, ketika kedua orang tuanya masih hidup. Dan sekarang Kilip hanya bisa membuang jauh-jauh keinginannya itu..
Selain berladang dan berburu, Kilip juga mempunyai kegemaran bermain sampek. Sampek adalah sejenis alat musik petik khas Suku Dayak, bentuknya berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu meter, memiliki beberapa buah dawai..
Sepintas bentuk sampek lebih menyerupai gitar. Saking piawainya memainkan sampek, maka setiap orang yang mendengar dentingan dawai sampek Kilip pasti akan berdecak kagum. Irama dan bunyi yang dilantunkannya kadang terdengar mendayu-dayu memecah kesunyian malam. Sementara jari-jarinya memetik dawai sampek, pikiran Kilip pun menerawang jauh ke masa lalu..
Dulu ketika orang tuanya masih ada, setiap hari selepas senja, Kilip senantiasa memainkan sampek bersama orang tuanya di teras rumahnya. Begitulah, seperti malam itu Kilip memainkan sampeknya dengan penuh perasaan. Dari kejauhan alunan lagu yang dimainkan Kilip terdengar begitu menyayat hati. Dia tidak menyadari bahwa malam itu sebenarnya malam bulan purnama. Seharusnya pada malam itu bulan bersinar dengan terangnya, tapi entahlah malam itu terasa gelap gulita. Meskipun gelap gulita, Kilip tidak peduli. Ia tetap saja memainkan sampeknya dengan merdu. Dengan memainkan sampek kesayangannya itu, kerinduan Kilip terhadap orang tuanya terasa terobati..
Sementara itu, dilangit tampak Puteri Bulan sedang meronta-ronta hendak melepaskan diri dari genggaman tangan raksasa. Raksasa itu bernama Ruha. Setiap bulan purnama, Ruha selalu ingin memangsa Puteri Bulan yang cantik rupawan.
"Lepaskan aku Ruha, aku tidak mau kamu mangsa!", jerit Puteri Bulan kesakitan..
"Aku masih ingin menyinari bumi ini", lanjutnya sambil sekuat tenaga melepaskan diri dari genggaman tangan Ruha..
"Hahahaha...tidak akan kulepaskan kau puteri cantik", Ruha menjawab dengan riangnya..
"Sebentar lagi aku akan menelanmu bulat-bulat hahaha...", semakin erat Ruha menggenggam Puteri Bulan..
"Aaaa....sakit telingaku, bunyi apakah ini?', tiba-tiba Ruha berteriak kesakitan..
Tangan satunya berusaha menutup telinganya, sementara yang satunya lagi tetap menggenggam Puteri Bulan..
"Aduh..! Hentikan..! Sakit sekali telingaku!", akhirnya saking tidak tahannya mendengar bunyi yang menurutnya menyakitkan telinga, Ruha tanpa sadar melepaskan salah satu tangannya yang masih menggenggam Puteri Bulan..
Ruhapun akhirnya pergi menjauh meninggalkan Puteri Bulan. Begitulah, akhirnya Puteri Bulan pun terlepas dari cengkeraman si raksasa Ruha. Langit pun menjadi terang benderang kembali. Semua itu bisa terjadi karena adanya suara yang mendayu-dayu dari sebuah sampek. Puteri Bulan pun mencari asal sumber suara itu. Dan ketika turun ke bumi, didapatinya Kilip sedang memainkan sampeknya dengan merdu..
"Wahai anak muda, pandai sekali kamu memainkan sampek itu", berkatalah Puteri Bulan..
Kilip yang sedang asyik memainkan sampeknya, terkejut ketika dihadapannya berdiri seorang puteri nan cantik jelita..
"Siapakah tuan puteri ini dan hendak ada keperluan apa mengunjungi hamba?", dengan ragu Kilip bertanya.
"Aku Puteri Bulan, aku ingin berterima kasih kepadamu karena telah menolongku melepaskan diri dari cengkeraman raksasa Ruha", jawab Puteri Bulan..
Akhirnya Puteri Bulan pun menceritakan kejadian yang baru dialaminya..
"Karena itulah, sebagai ucapan terima kasihku, aku akan mengabulkan semua keinginanmu", jelas Puteri Bulan..
"Maafkan hamba tuan puteri, hamba ini sebatang kara di dunia ini, hamba cuma ingin pergi merantau", ucap Kilip..
"Kata teman saya, dirantau akan banyak hal-hal baru yang dapat saya jumpai dan pelajari, tapi sepertinya itu tidak mungkin...", ujar Kilip dengan nada sedih..
"Mengapa tidak mungkin?", tanya Puteri Bulan heran..
"Hamba tidak mungkin meninggalkan ladang peninggalan orang tua saya tuan puteri. Kalau saya pergi siapa nanti yang akan mengurusnya?', ujar Kilip. Puteri Bulan pun tersenyum mendengar ucapan Kilip..
Dengan lembut Puteri Bulan berkata, "Kamu tidak usah khawatir Kilip, sekarang juga kamu bisa mewujudkan keinginanmu, sekarang pegang tanganku!"..
Tiba-tiba Puteri Bulan sudah menggandeng tangan Kilip dan ajaib sekali, dalam sekejap Kilip pun terbang ditemani oleh Puteri Bulan. Kilip dibawa terbang laksana burung enggang berkeliling ke seluruh penjuru negeri. Kilip sangat senang melihat pemandangan di bawah. Apalagi malam itu terang bulan. Nun jauh di sana tampak lembah, ngarai, gunung, sungai, sawah dan juga rumah-rumah penduduk..
Dia begitu takjub, ternyata dibawah sana banyak sekali suku-suku yang mendiami pulau dimana ia tinggal. Ada Dayak Maanyan, Dayak Ngaju, Dayak Kenyah, Dayak Abal dan masih banyak lagi. Menjelang pagi hari, petualangan Kilip bersama Puteri Bulan pun berakhir. Kilip sangat senang sekali malam itu. Tak henti hentinya ia mengucapkan terima kasih kepada Puteri Bulan. Puteri Bulan pun tersenyum lega..
Demikianlah, walaupun hanya satu malam, tapi petualangan Kilip malam itu tidak akan pernah terlupakan. Ada banyak hal yang dapat ia jumpai dan pelajari diluar sana. Dan semua itu bisa terwujud karena kepandaiannya memainkan sampek kesayangannya..
TAMAT
Semoga menghibur dan semangat puasanya.. :)
Sumber: Edi Kusumawati from Kompasiana dan ilustrasi oleh Razrul from DeviantArt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo meninggalkan komentar..